two-sided-mask

MENANGGAPI ‘tudingan miring’ yang kadang memerahkan telinga kadang memang menimbulkan dilema. Didiamkan makin menjadi-jadi, tapi kalo ditanggapi apalagi dengan reaksi yang berlebihan malah rawan menimbulkan konflik. Seperti halnya yang beberapa hari yang lalu saya alami. Kebetulan hari itu saya berangkat kantor naik mobil. Tentu mobil itu mobil orang tua saya karena saya sangat jauh dari kata mampu untuk bisa membeli kendaraan sendiri. Orang-orang kantor juga tahu itu.

Tanggapan orang-orang tentang mobil yang saya bawa memang beragam, kebanyakan dengan nada bercanda. Akan tetapi sebenarnya ada tanggapan yang rawan menyinggung perasaan kalau orang yang dibicarakan berperasaan sensitif. Walaupun saya yakin yang beliau ucapkan tidak dengan maksud apa-apa yang negatif terhadap saya.

Tanggapan yang cukup ‘jegerrrr’ tersebut kurang lebih seperti ini: –Senang ya jadi anak xxxxxx (menyebut jabatan tertentu), bisa dibelikan mobil sama bapaknya-. Terus terang celetukan itu bagi saya sangat tidak enak didengar. Sangat terkesan membawa-bawa nama orang lain, walaupun itu adalah orang tua sendiri.

Waktu itu celotehan itu tidak saya tanggapi. Sebuah senyuman sudah lebih dari cukup untuk menanggapi hal tersebut. Terkadang, justru diam itu adalah tanggapan yang paling tepat untuk kondisi-kondisi tertentu.

Yang sebenarnya perlu saya luruskan adalah, kita itu terkadang melihat seseorang cenderung hanya kepada bagaimana maupun seperti apa lingkungan yang di sekitar dia. Taruhlah yang paling gampang cara melihat seorang sarjana komputer. Banyak yang mengira seorang sarjana komputer itu mengetahui segala macam hal yang berkaitan dengan komputer dan perangkat pendukungnya (printer, kabel jaringan, internet maupun lainnya). Padahal kan ya tidak seperti itu karena seorang sarjana komputer bukan Superman. Ada spesifikasinya masing-masing seperti halnya sarjana hukum pun ada yang menjadi hakim, pengacara, jaksa, konsultan dan sebagainya.

Itu juga yang perlu saya luruskan tentang saya. Oke lah kalau saya dibilang anak dari orang tua yang memegang jabatan tertentu, yang mungkin dipandang cukup berada, tapi tentu itu bukan berarti apa-apa yang berkaitan dengan saya perlu dihubungkan dengan keluarga, apalagi yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan.

Istilahnya tidak semua anak orang berada itu selalu mudah terpenuhi kebutuhannya dengan begitu saja minta ini-itu ke orang tuanya. Begitu juga sebaliknya, tidak semua anak orang yang kurang berada bisa menerima kehidupannya dengan hidup sederhana. Terkadang justru  mereka yang kurang berada lebih konsumtif dan gampang meminta-minta daripada mereka yang lebih berada.

Kalau saya mengandalkan power dari keluarga untuk memenuhi kebutuhan saya, sudah sejak lama saya banyak minta ini itu. Tapi itu tidak saya lakukan. Itu yang banyak orang yang tidak tahu, dan tidak masalah juga kalau tidak tahu. Hanya saja sekedar untuk berbagai informasi, saya tidak seperti yang orang lihat.

Mungkin ini hasil didikan orang tua saya juga yang membuat saya tidak memanjakan diri dengan fasilitas ini itu. Naik bis ekonomi, angkot atau sepeda adalah hal yang biasa bagi kami walaupun ada kendaraan bermotor di rumah. Motor yang saya pakai sekarang juga misalnya, sejak dari pertama saya bisa naik motor sampai sekarang sudah bekerja ya motor yang saya pakai masih yang itu-itu juga tak berubah.

Bahkan sebenarnya itu motor pun aslinya punya ibu. Saya hanya ketiban berkah karena ibu trauma pakai itu motor. Kalau saya memanfaatkan jabatan orang tua, wah sudah sejak lama saya minta motor baru. Yang gress dan mentereng sekalian macam Ninja ZR atau apalah. Hahaha..

Kemudian HP juga demikian. Di saat kawan-kawan kuliah pakai HP yang terbaru, saya setia dengan Nokia 3200 yang masih sekedar polifonik. Bahkan ketika Blackberry begitu menggila, saya masih stay dengan HP itu. Malah ibu saya yang akhirnya risi yang akhirnya paksa suruh ganti HP. Beliau takut mbok saya minder di kampus, padahal mah saya biasa-biasa saja.

Daripada narsis ke mana-mana, saya cut saja banyak beberapa detil dari angan-angan yang ingin saya tulis di sini. Intinya, kalau saya dibilang ‘senang ya jadi anak -pejabat- bisa dibelikan ini-itu’, ya saya senang, saya bangga dengan orang tua saya. Tapi untuk senang dibelikan ini itu, nanti dulu bos. Saya bukan tipe seperti itu.

Hati-hati dengan perspektif yang Anda bangun. Secara umum, jangan selalu kaitkan hal yang satu dengan hal yang lainnya. Walaupun berkaitan, tidak mesti hal-hal tersebut berhubungan sebab akibat. Rancu sekali kalau ada dua hal mesti di-sebabakibat-kan. Biasakan untuk me-refer-kan sesuatu itu seperlunya saja. Dengan demikian kita akan terhindar dari bias perspektif yang menyesatkan.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *