INTI dari film ini adalah pertarungan antara robot raksasa yang dikendalikan oleh dua orang pilot melawan monster dari suatu tempat yang masuk melalui portal yang berada di dasar lautan Pacific, demi mempertahankan agar bumi tidak diambil alih oleh monster tersebut. Para robot dipanggil sebagai Jaeger dengan nickname yang berbeda sesuai asal negara Jaeger tersebut, sementara sang monster dipanggil sebagai Kaiju dengan nickname yang berbeda-beda.
Menjadi pertanyaan yang tidak terjawab adalah kenapa robot itu disebut Jaeger yang diambil dari Bahasa Jerman, juga Kaiju yang diambil dari Bahasa Jepang sementara baik Jepang maupun Jerman tidak diceritakan terlibat sama sekali dalam cerita ini? Ah sudahlah.
Bagi saya sendiri ketika menyaksikan film ini ada rasa yang kurang puas. Entahlah. Film yang seharusnya luar biasa ini berasa menjadi biasa saja. Yang saya rasa mungkin karena ada sebuah titik jenuh menyaksikan film Hollywood yang akhir-akhir ini begitu gemar menghancurkan kota yang membuat akhirnya efek destruktif akibat peperangan di film ini menjadi ‘ah biasa aja nih’.
Tentang robotnya sendiri, benak saya masih selalu terkomparasi dengan Transformer ataupun versi raksasa dari Iron Man jadi ketika para Jaeger melakukan berbagai manuver maupun bertranformasi mengeluarkan senjata, menjadi lagi-lagi ‘ah sudah pernah lihat yang begituan’.
Selain itu, bagi saya pertarungan one on one antara raksasa melawan raksasa, dengan ukuran yang tidak begitu berbeda membuat efek gigantis sebuah pertarungan menjadi hilang. Tak ada beda dengan pertarungan antara manusia dengan manusia, bedanya paling cuma di sini ada bangunan, kendaraan maupun jalan yang bisa terinjak begitu saja. Jadi mirip-mirip pertarungan Ultraman vs Monster di serial Jepang jaman dulu, hanya saja yang ini menggunakan CGI yang canggih.
Diandingkan saat Optimus Prime melawan The Fallen di Transformer, ataupun para Avenger melawan makhluk entah apa yang menyerupai naga yang dipanggil oleh Loki, ada efek gigantis yang lebih menarik ketika meyaksikan pertarungan antara dua karakter yang berbeda ukuran seperti itu.
Satu lagi yang membuat film ini menjadi minus di mata saya adalah, film ini terlalu berjalan lurus begitu saja. Sama sekali tidak ada twist maupun kejutan yang dihadirkan dalam cerita ini. Taruhlah ketika 4 Jaeger yang tersisa akan melaksanakan misi final, saya berfikir pasti misi ini akan gagal dan akan ada Jaeger yang tumbang. Ternyata memang seperti itu.
Ketika percobaan kedua dilaksanakan dan pilot Striker Eureka yang adalah ayah anak berpamitan karena sang ayah cedera saat melaksanakan misi yang gagal itu, saya berpikir pasti itu anak akan mati karena adegannya tampak didramatisir. Ternyata memang seperti itu.
Finalnya ketika Striker Eureka akhirnya meledak dan Gypsy Danger yang mengambil alih, dengan pilot yang pria wanita, pasti akan ada aksi heroik si pria menyelamatkan wanita dan diakhiri dengan si pria muncul dengan dramatis tidak jadi mati. Dan ternyata memang demikian. Terlalu mudah ditebak dan sama sekali tidak ada kejutan apalagi twist.
Terlepas dari itu ada satu yang menonjol dari film ini. Adalah karakter dua ilmuwan gila yang cukup menimbulkan aura yang berbeda. Juga yang paling top adalah acting Mako Mori kecil yang ketakutan saat kotanya dihancurkan Kaiju. Bagi saya ini adalah adegan yang paling kuat di sepanjang film, mengalahkan adegan ketika pimpinan proyek Jaeger berpidato dramatis dengan quote ‘Tonight we are cancelling the apocalypse’ yang seharusnya menggetarkan.
Entah mungkin karena sang film maker terlalu berfokus pada efek visual atau karena apa yang jelas banyak adegan maupun karakter yang terasa kurang kuat kalau tidak mau dibilang akting para pelakonnya lemah. Chemistry ayah anak pilot Striker Eureka bagi saya kurang kuat, begitu pula aura simpatik atapun benih asmara antara Raleigh dan Mako Mori. Bisa dibilang hanya pemeran Mako Mori kecil, dua ilmuwan gila (Dr. Newton & Dr. Normann) dan Hannibal Chau yang terasa kuat. Yang lain flat.
Secara umum, bisa dibilang film ini memang bagus dan mungkin bisa saja menjadi box office. Namun untuk dibilang menjadi film yang istimewa, saya cenderung kurang sepakat. Bagi anak 17 tahun ke bawah mungkin film ini sangat luar biasa istimewa, tapi bagi yang sedikit saja sudah bisa melek saya tidak yakin film ini bisa meninggalkan kesan.
Kita lihat saja ke depan marketing-nya bagaimana apakah berhasil atau tidak apalagi konon film ini akan dibuat sequel-nya. Semoga saja kalaupun ada sequel-nya akan lebih baik dari ini, bukan hanya sekedar hancur-hancuran kota dengan visual robot yang canggih saja.
0 Comments