BEBERAPA waktu yang lalu, jagad perfilman Indonesia dihiasi sebuah genre film yang sebelumnya boleh dibilang tampak tidak terlalu seksi untuk dibioskopkan. Apa itu? Mengangkat sebuah tokoh untuk difilmkan. Tokoh tersebut adalah KH Ahmad Dahlan yang diangkat dengan judul SANG PENCERAH oleh sutradara top tanah air Hanung Bramantyo.
Memanfaatkan cerita yang sangat spesifik dengan dibitangi artis top tanah air, dan yang tak kalah penting memanfaatkan basis massa organisasi dari tokoh yang difilmkan, film itu sangat sukses dipasarkan. Kelak dikemudian hari banyak tokoh yang kemudian difilmkan mengikuti langkah Hanung yang sukses mengangkat KH Ahmad Dahlan.
Ketika Ahmad Dahlan sukses difilmkan, saya tidak bisa untuk tidak membayangkan kalau KH Hasyim Asy’ari pasti akan difilmkan juga. Ya seperti yang kita tahu basis organisasi massa dua tokoh itu, Muhammadiyah dan NU, diakui atau tidak adalah calon ladang uang yang sangat potensial untuk digali. Dulu banyak sekali siswa-siswa Muhammadiyah yang dikerahkan untuk menonton film itu, dan bisa dipastikan ketika Hasyim Asy’ari difilmkan siswa-siswa dan juga partisipan NU akan dikerahkan.
Ketika pada akhirnya KH Hasim Asy’ari positif difilmkan dengan tajuk SANG KIAI dan resmi dilepas ke pasaran, ternyata prediksi itu benar adanya. Film ini sukses menghadirkan banyak penonton ke bioskop bahkan termasuk orang-orang yang sebelumnya belum pernah menginjakkan kaki ke bioskop.
Indikator paling sederhana ya orang tua saya sendiri yang selama hampir 20 tahun tinggal di Purwokerto belum pernah mampir sama sekali ke Bioskop Rajawali, akhirnya ke sana juga. Begitu juga saya yakin rombongan bapak-bapak dan ibu-ibu berjilbab yang saya jumpai saya pemutaran film tersebut, juga rombongan anak-anak (mungkin anak SMP) yang didampingi guru-gurunya yang saya jumpai ketika saya menonton film yang lain. Hahaha..
Okelah, terlepas dari penonton ataupun basis massa organisasi dari Sang Kiai tersebut, mari kita komentari saja isi filmnya. Kita awali dari judul. Judul Sang Kiai ini bagi saya memang tepat karena judul tersebut cukup menggambarkan keseluruhan isi cerita. Hanya saja tidak bisa dipungkiri judul ini tampak seperti menjadi epigon dari Sang Pencerah.
Cerita tentang tokoh ormas Muhammadiyah memakai SANG, cerita tentang tokoh ormas NU juga memakai SANG. Ini adalah cara paling gampang untuk menarik perhatian calon ‘konsumen’ sama ketika dulu Habiburahman el Shirazy sukses dengan Ayat-ayat Cinta, mendadak banyak novel yang menggunakan embel-embel Cinta di judulnya dan covernya juga mengikuti Ayat-ayat Cinta. Tentang epigon ini, saya pernah bikin tulisan di blog saya yang lama. Silahkan baca jika berkenan.
Untungnya yang saya suka dari film ini, materi film tidak menjadi epigon dari Sang Pencerah. Sang Pencerah bisa dibilang murni adalah biografi dari KH Ahmad Dahlan sejak dari beliau kecil sampai akhirnya membentuk Muhammadiyah sementara Sang Kiai lebih kepada bagaimana peran dari KH Hasyim Asyari dalam mengawal kemerdekaan RI.
Ada banyak tokoh lain yang kemudian juga menjadi center of attention pada film ini. Yang paling terlihat tentu adalah Wahid Hasyim dan Harun. Bagi saya ini adalah sebuah nilai plus yang cukup penting karena menimbulkan warna tersendiri pada film.
Premis dari film ini adalah tentang bagaimana Indonesia, terutama di Jawa Timur, pasca kedatangan Jepang. Mereka yang mengaku saudara Indonesia ternyata jauh lebih kejam dari Belanda. KH Hasyim Asyari selaku pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng yang pengaruhnya tidak hanya di lokal pesantren tapi juga seluruh Indonesia karena beliau adalah pimpinan Nahdlatul Ulama menolak untuk melakukan seikerei (hormat menghadap matahari).
Dikhawatirkan akan menyebarkan ‘pengaruh jahat’, KH Hasyim Asyari ditangkap dan disiksa Jepang. Wahid Hasyim (putra Hasyim Asyari) melalui jalan diplomatis mencoba membebaskan ayahnya sementara Harun (santri Hasyim Asyari) tidak cocok dengan jalan lembek seperti itu dan lebih memilih jalur frontal. Ketika akhirnya KH Hasyim Asyari bebas, beliau dan putranya malah tampak jadi semakin lembek dan sangat tunduk pada Jepang. Ini sebenarnya adalah siasat, tapi Harun yang tidak paham menjadi sangat kecewa dan keluar dari pesantren. Perbedaan pandangan ini, dengan disertai berbagai peristiwa sejarah menjelang dan pasca kemerdekaan menjadi cerita dari film ini.
Melalui film ini, kita bisa belajar mengenai pribadi KH Hasyim Asyari yang sangat bisa kita contoh. Selain itu kita juga diberi bonus untuk juga belajar mengenai sejarah Indonesia. Visualisasi yang dihadirkan bagus dan kontekstual. Yang jelas terlihat kontekstualitasnya adalah pada kerudung yang digunakan oleh para tokoh wanita. Di manapun di Indonesia saat itu kerudung yang digunakan oleh para Muslimah adalah selayaknya selendang yang disampirkan ke kepala. Itu juga yang dipakai oleh istri dari KH Hasyim Asyari.
Tanpa Dengan bermaksud membandingkan, ini yang tidak tersampaikan di di Sang Pencerah. Istri KH Ahmad Dahlan memakai kerudungnya kerudung yang menutup seluruh rambut. Maklumlah pemerannya Zaskia Mecca yang memang aslinya berkerudung rapat. Hanya saja kondisi itu membuat Sang Pencerah kurang kontekstual.
Tentang kekurangan film ini, saya beberapa kali menjumpai ada kesalahan tata bahasa yang sangat mengganggu. Tokoh Harun beberapa kali saya jumpai mengucapkan kosakata Jakarta masa kini. Mana ada waktu itu ada kata ‘nggak’ juga kata-kata yang diakhiri dengan ‘in’ seperti ‘ngelakuin’. Harusnya kesalahan elementer seperti ini tidak terjadi.
Secara keseluruhan saya rasa film ini cukup bagus. Walaupun mau tidak mau pasti dibandingkan dengan Sang Pencerah, film ini menghadirkan sesuatu yang jauh berbeda dari Sang Pencerah. Karena berbeda itu, tidak ada salahnya film ini ditonton walaupun mungkin secara paham organisasi berbeda. Nikmati tontonan ini sebagai sarana belajar, dan pandang tokoh tersebut sebagai tokoh nasional bukan dibatasi sebagai pimpinan organisasi keagamaan.
0 Comments