Pada suatu siang menjelang sore di bulan Maret 2015 ketika saya sedang asyik menyusun rancangan pengajuan penggantian Uang Persediaan, tiba-tiba ada telepon dari pak bos agar datang ke ruangannya. Agak kaget juga tumben-tumbennya beliau memanggil, secara saya sedang tidak ada urusan dengan beliau. Sebagai informasi, pak bos yang ini bukan pimpinan tertinggi kantor namun adalah salah seorang unsur pimpinan di kantor saya.

Ketika saya masuk ke ruangan beliau, ternyata ada atasan langsung saya di sana. Bagi yang belum tahu, maksud dari ‘atasan langsung’ adalah pimpinan yang kedudukannya satu level di atas kita. Wah, ada masalah pelik ini pikir saya. Ternyata oh ternyata, saya dipanggil untuk menjelaskan kenapa kemarin saat beliau pergi haji, cuti yang dia ambil diubah dari Cuti Tahunan menjadi Cuti Besar. Peristiwa ini sudah berlangsung beberapa bulan yang lalu yang sama sekali tidak saya duga akan diungkit-ungkit lagi. Yang jadi masalah, atasan langsung saya lupa kenapa cuti beliau diubah makanya dia ‘memanggil bala bantuan’, yaitu saya. Owalah. Hahaha.

Ya saya jawab, itu adalah instruksi dari Semarang. Semarang menghendaki penegakan aturan cuti bahwa cuti haji adalah menggunakan Cuti Besar. Kantor saya terpantau ada pegawai yang Cuti Tahunan berhari-hari melebihi batas aturan sehingga oleh Semarang diminta untuk disesuaikan. Barulah kemudian atasan langsung saya ingat itu dan langsung lancar menjelaskan hal ihwal yang terjadi. Penjelasan yang berulang sebenarnya karena beliau pak bos pun juga sudah tahu.

Namun bukan itu saja ternyata ‘masalah’ yang terjadi. Bersenjatakan print out Peraturan Pemerintah (PP) No 24 Tahun 1976 tentang Cuti Pegawai Negeri Sipil pada pasal tentang Cuti Besar saya ditunjuki bahwa Cuti Besar itu adalah opsi bukan kewajiban. Bunyi pasal itu adalah bahwa Cuti Besar dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban agama. Kata yang digunakan adalah ‘dapat’ bukan ‘harus’, jadi beliau bertanya kenapa cutinya diubah dari Cuti Tahunan menjadi Cuti Besar.

Jawaban sederhana dari atasan langsung saya, ya monggo silahkan komplain ke Semarang karena ini jelas instruksi dari Semarang kepada Ketua. Pada titik ini, beliau tidak bisa berkomentar lagi namun beliau masih belum mau ‘kalah’. Beliau memperlebar permasalahan kepada kenapa tunjangan kinerja dia dipotong padahal dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa selama menjalankan Cuti Besar, Pegawai Negeri Sipil tersebut menerima penghasilan penuh.

Posisi saya hanya diam sambil mendengarkan kedua atasan saya tersebut berbincang serius. Atasan langsung saya menjawab bahwa ya aturan remunerasi kan memang seperti itu. Mereka yang hadir terlambat dipotong 1%, tanpa keterangan 5% dan seterusnya. Aturan tersebut sudah tertuang dalam aplikasi penghitung remunerasi sehingga Bendahara tinggal mengeksekusi.

Fokus beralih kepada saya selaku Bendahara dan langsung ditanyai apa benar seperti itu. Saya jawab iya benar dan seharusnya para bapak-bapak di sini jauh lebih paham tentang itu daripada saya karena sudah sejak 2007 menerima remunerasi. Aturan itu sudah baku dan seharusnya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, apalagi bertanya kepada saya yang baru masuk menjadi pegawai tahun 2011 dan menerima remunerasi setahun kemudian.

Kemudian mengenai frasa pada PP 24/1976 yang menyebutkan penghasilan tetap diterima penuh, itu kan aturan umum. Ketika ada aturan khusus, ya aturan khusus yang digunakan. Itu standar pelaksanaan aturan yang sudah berlaku dari zaman dulu dan tidak perlu dibenturkan.

Dari peristiwa itu, saya semakin menyadari bahwa senioritas tidak selalu berbanding lurus dengan pengetahuan tentang aturan. Memang status penggunaan Cuti Besar untuk haji sebatas pada ‘dapat’ bukan ‘harus’, namun justru itu satu-satunya cara yang legal bagi para PNS untuk melaksanakan ibadah haji. Menggunakan cuti tahunan untuk berhaji adalah hal yang sangat tidak mungkin karena pada Pasal 6 PP 24/1976 tersebut disebutkan bahwa Cuti Tahunan yang tidak diambil selama lebih dari dua tahun berturut-turut dapat diambil maksimal selama 24 hari kerja.

Tanpa menghiraukan adanya Cuti Bersama-pun, 24 hari tentu sangat kurang untuk melaksanakan ibadah haji. Dibutuhkan paling tidak 40 hari untuk melaksanakan ibadah haji. Belum lagi tambahan hari ekstra untuk persiapan sebelum berangkat dan istirahat setelah pulang. Kalau menggunakan Cuti Tahunan, lantas setelah habis 24 hari, tidak masuknya kerja itu dianggap apa dong? Bolos kerja? Kan malah jadi melanggar disiplin pegawai? Itulah kenapa akomodasi yang diberikan pemerintah adalah berupa Cuti Besar. Dengan menggunakan Cuti Besar, PNS diberikan kesempatan sampai 3 bulan untuk tidak masuk kerja. Tentu ini adalah kebaikan hati pemerintah yang harus dimanfaatkan, bukannya malah mengotak-atik aturan lain. Lagian 24 hari itu tanpa Cuti Bersama, kalau Cuti Bersama dihitung makin berkurang lagi jatahnya.

Kemudian tentang pemotongan remunerasi atau tunjangan kinerja. Namanya juga tunjangan kinerja, kalau tidak bekerja kenapa minta bayaran? Ini yang belum disadari oleh sebagian dari kita. Gaji atau bayaran atau sebutan lainnya memang adalah hak, namun hak itu tentu didapat setelah kewajiban dilaksanakan. Melaksanakan kewajiban juga tidak, masa meminta hak?

Kembali ke pokok permasalahan, saya ulangi lagi bahwa ternyata senioritas tidak selalu berbanding lurus dengan pengetahuan tentang aturan. Sebagai junior, mengingatkan senior bisa dibilang kurang ajar. Namun bagi saya pribadi ini akan menjadi pegangan saya sehingga ketika giliran saya menjadi senior, keawaman itu tidak saya alami.


Lesson Learned: Sebagai pekerja, pahami segala macam aturan yang berhubungan dengan pekerjaan. Jangan sampai mempermalukan diri sendiri akibat tidak paham aturan.


*gambar sekedar ilustrasi


1 Comment

Pembicara Internet Marketing · January 4, 2016 at 1:11 am

blog yang cukup menarik, dan themes yang sangat seo frendly. salam hangat http://www.marinirseo.web.id Pembicara Internet Marketing

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *