Suatu hari saya didatangi oleh salah satu staf Kantor Pengacara yang berada di lingkungan kantor saya. Dari pintu ruangan saya, dia memanggil saya. Tentu saya tolak dong, siapa dia bisa memanggil saya seperti itu. Saya persilahkan dia masuk ke ruangan saya. Lebih beradab seperti itu dan memang seharusnya seperti itu. Setelah masuk, ternyata dia hendak mengembalikan surat panggilan yang saya alamatkan untuk Kantor Pengacara dia. Kebetulan wilayah tempat Kantor Pengacara itu berada pada tanggung jawab saya. Waktu itu Pengacara tersebut sedang tidak ada di kantor jadi saya tinggal surat panggilan tersebut. Ya sudah, saya terima surat panggilan tersebut dan kemudian staf pengacara tersebut pulang.

Ternyata oh ternyata staf pengacara tersebut belum pulang. Bisa jadi dia sudah pulang tapi balik ke kantor saya lagi, yang jelas ketika saya keluar dari ruangan saya sudah ada dia menunggu saya. Dengan berkata pelan dia meminta agar panggilan untuk lawan dari klien dia untuk dipanggilkan langsung ke balai desa namun jangan di-ghaib-kan. Maksud dari ghaib itu adalah pihak yang dipanggil ditulis tidak berdomisili di desa tersebut lagi dan sekarang sudah tidak diketahui alamatnya. Katanya dia kasihan dengan klien dia seandainya lawannya tersebut di-ghaib-kan.

Sebagai informasi bagi pembaca, persidangan untuk perkara yang pihak lawannya tidak diketahui alamatnya (ghaib) dilaksanakan paling tidak 5 bulan sejak pendaftaran atau sejak diketahui bahwa pihak tersebut tidak jelas alamatnya. Ketidakjelasan alamat pihak itu dibuktikan dengan surat keterangan dari desa atau dengan surat/akta yang dibuat oleh Jurusita/Jurusita Pengganti setelah Jurusita/Jurusita Pengganti tersebut melaksanakan panggilan terhadap alamat yang disebutkan oleh pihak yang menggugat dalam surat gugatan. Waktu 5 bulan itu digunakan oleh Pengadilan untuk mencari si orang hilang itu lewat media massa, disamping melalui pengumuman via papan tempel dan beberapa lewat website.

Karena saya berprofesi sebagai Jurusita Pengganti, dan kebetulan domisili lawan dari klien tersebut berada di wilayah saya maka dia meminta agar dalam panggilan yang saya laksanakan nanti, lawan dia jangan di-ghaib-kan. Katanya kasihan kalau klien dia harus menunggu lama. Dengan seandainya saya tidak meng-ghaib-kan perkara tersebut, maka persidangan bisa berjalan lebih singkat. Jangka waktu antar sidang hanya 2 minggu dan cukup 2 kali sidang biasanya sudah selesai perkara. Si klien dia sedang berposisi di luar negeri dan butuh kepastian status segera.

Terus terang saya kaget mendengar staf pengacara tersebut berani meminta saya melakukan itu. Apa-apaan dia berani ‘menginstruksikan’ apa yang harus saya kerjakan? Apalagi hal yang dia mintakan itu adalah hal yang salah. Saya sebenarnya tersinggung tapi saya pendam tidak saya ungkapkan. Saya katakan itu adalah hal yang salah adalah karena apa yang harus saya tulis adalah fakta yang benar nyata terjadi. Kalau memang orang itu sekarang sudah tidak berdomisili di desa tersebut dan sekarang sudah tidak diketahui dengan pasti alamatnya di mana ya harus saya tulis seperti itu.

Kemudian adalah salah juga apabila saya menuruti kemauan staf pengacara tersebut karena itu sama saja saya melanggar sumpah jabatan saat pelantikan saya dulu. Saya memang masih muda namun jangan pikir saya bisa dikendalikan seperti itu. Pada zaman seperti sekarang ini, integritas adalah hal yang mulai langka namun justru itu yang coba terus saya pegang sepanjang saya mampu.

Pada akhirnya setelah panggilan saya laksanakan, saya menuju ke alamat yang tertulis pada surat gugatan ternyata si pihak lawan dari klien tersebut memang sudah tidak tinggal di desa itu lagi. Saya tanya ke Kantor Desa barangkali ada catatan di mana orang tersebut sekarang tinggal namun sayangnya mereka tidak punya itu. Meski demikian mereka mengakui bahwa orang tersebut sudah tidak tinggal di situ lagi. Itu adalah kunci bagi saya. Karena hal tersebut adalah fakta jadi ya saya tulis apa adanya saja.

Bukannya saya tidak kasihan dengan klien sang pengacara tersebut, namun saya tetap harus memegang teguh aturan. Ketika saya melaksanakan tugas, saya membawa kehormatan dan wibawa saya pribadi, keluarga saya dan institusi saya. Kelihatan berlebihan namun kenyataannya memang begitu. Di mana wibawa Pengadilan ketika pegawainya bisa dikendalikan Pengacara? Lagi pula apakah si klien memang dalam butuh kondisi segera atau tidak kan saya juga tidak tahu. Bisa saja itu hanya klaim dari staf pengacara tersebut agar perkara dia cepat selesai dan dia bisa segera mendapat bayaran dan syukur bisa dapat bonus.

Ketika mengetahui bahwa saya menuliskan apa adanya dalam surat panggilan yang saya buat, staf pengacara tersebut sempat komplain ke saya. Namun karena kondisinya memang seperti itu jadi ya harus saya tulis apa adanya. Memang dia tampak kecewa karena mungkin dia sudah menjanjikan sesuatu kepada si klien, namun itu kan bukan urusan saya.


Lesson Learned: Integritas itu penting. Jagalah selalu.



1 Comment

Pembicara Internet Marketing · January 4, 2016 at 1:32 am

blog yang cukup menarik, dan themes yang sangat seo frendly. salam hangat http://www.marinirseo.web.id Pembicara Internet Marketing

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *