Ketika saya tahu novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas akan difilmkan, terus terang saya kaget. Novel kaya gini mau difilmkan? Apa bisa? Novel karya Eka Kurniawan ini bagus, sangat bagus, tapi bagaimana ya? Bagi saya ada novel yang ‘harus’ difilmkan tapi ada juga novel yang biarlah tetap menjadi novel. Saya rasa semua orang yang sudah baca novel ini sepakat novel ini sangat bagus. Tak cuma novel ini sih, seluruh novel maupun kumpulan cerpen Eka Kurniawan sangat layak diberi predikat sangat bagus. Tapi untuk difilmkan, itu hal lain lagi. Meski demikian bagi yang belum pernah baca novel Eka Kurniawan, bacalah! Mumpung belum terlambat.

Saya sendiri belum membaca semua novel atau kumpulan cerpennya. Seingat saya baru Seperti Dendam ini, kemudian Cantik itu Luka, Lelaki Harimau, O, dan Corat Coret di Toilet. Yang lain belum. Kepingin, karena saya sangat kagum dengan gaya penulisan dia, tapi buku di era media sosial menjadi sesuatu terlupakan oleh saya. Buku menjadi bukan prioritas karena saya terlalu terbuai kerecehan yang ada di Twitter, Instagram dan kemudian akhir-akhir ini Tiktok. Padahal di media-media sosial itu toh saya cuma silent reader/watcher, tapi ya sudah lah mau bagaimana lagi. Semoga ke depan saya bisa dan tergerak untuk mulai membaca buku lagi.

Pengetahuan saya tentang dunia tulis menulis sangat minim, tapi membaca tulisan-tulisan Eka Kurniawan membuat saya merasa menemukan kembali sosok Ahmad Tohari. Saya, tidak tahu kenapa, suka sekali tulisan-tulisan Ahmad Tohari dan belum menemukan penulis yang ‘menandingi’ dia sampai ketemu Eka Kurniawan ini. Ketika akhirnya salah satu novel Eka Kurniawan difilmkan, tentu saya sangat tertarik untuk menonton, walaupun ada sedikit kekhawatiran di situ bagaimana novel ini akan difilmkan karena isu novel ini cukup sensitif dan cenderung vulgar.

Cerita di Seperti Dendam adalah tentang Ajo Kawir yang mengalami impotensi, sebuah aib yang sangat ditakuti oleh para pria di seluruh dunia dari zaman pra sejarah sampai zaman modern sekarang ini. Ini adalah tentang maskulinitas seorang pria yang terganggu karena burungnya tidak bisa berdiri. Kekurangan itu Ajo Kawir lampiaskan dengan menjadi petarung yang tidak kenal rasa takut dan sangat amat suka dengan kekerasan. Tujuannya adalah sebagai kompensasi untuk menunjukkan bahwa dia adalah pria yang perkasa.

‘Keperkasaan semu’ itu menjadi masalah ketika dia jatuh cinta dengan Iteung, wanita yang juga jago berkelahi yang mengalahkannya dalam sebuah duel. Pria jagoan, jatuh cinta dengan wanita jagoan, wanita nya pun juga jatuh cinta kepada si pria, tapi si pria impoten, tentu ini masalah yang sangat pelik. Bagaimana dia bisa menunjukkan ‘keperkasaan sejatinya’ di hadapan pujaannya? Puaskah si pujaan hati dengan hanya bermain jari? Rindu apa yang harus dibayar dengan tuntas? Bahkan, dendam apa juga yang harus dibayar dengan tuntas? Silakan segera tonton film ini.

Tidak mudah mengadaptasi novel menjadi sebuah film. Di media novel penulis sangat leluasa mengembangkan karakter sementara pembaca bisa membangun imajinasinya sendiri sebagai interpretasi apa yang dia baca. Padahal dalam menginterpretasi, sutradara mempunyai batasan durasi waktu yang harus ditaati. Akan sangat wajar jika kemudian pembaca novel menjadi kecewa karena interpretasi dia beda dengan sang sutradara, walaupun novel yang dibaca sama.

Bagi penonton film yang tidak siap menonton film yang tidak biasa, mungkin film ini akan terasa aneh. Nuansa yang dibangun sutradara adalah nuansa 80-90an, dari dialog, kostum sampai ke adegan perkelahian dan termasuk sudut pengambilan gambarnya. Percayalah, ketika Anda menonton adegan perkelahian di film ini anda akan berasa nonton film-film Advent Bangun, George Rudi maupun Barry Prima. Bedanya, pengambilan gambar film ini menggunakan kamera yang lebih HD. Film-film itu bukan era saya, tapi sebagai manusia kelahiran tahun 1987, masa kecil saya cukup banyak disuguhi film itu walaupun setahu saya dulu aktor itu namanya Jasrudi bukan George Rudi. 😀

Nuansa 80-90an di film ini menurut saya sangat berhasil. Perkelahian antara Ajo Kawir melawan Iteung dihadirkan dengan ‘kaku’ ala film 80-90an. Tentu perkelahian di sini sangat berbeda dengan perkelahian ala Iko Uwais lawan Yayan Ruhiyan. Tapi jangan salah, pertarungannya artistik dan sepertinya tanpa stunt double. Adegan perkelahian yang mengejutkan tentu saat Ajo Kawir membanting Iteung. Saya kira kita semua tak pernah membayangkan melihat Ladya Cheryl si pemeran Iteung yang sebelumnya lebih dulu tenar sebagai Alya yang lemah lembut di Ada Apa dengan Cinta dibanting ala smackdown oleh laki-laki. Adegan ini sangat estetik, dengan lokasi tak kalah estetik juga di tambang pasir.

Dari sisi plot, film ini cukup akurat sesuai dengan novelnya. Apalagi Eka Kurniawan juga turut berkontribusi sebagai penulis skenario. Bahwa ada hal yang dibuat beda dan ada cerita yang tidak divisualisasikan ya harus dimaklumi karena biar bagaimana pun sebuah film memiliki batas durasi. Kesan positif, yang saya suka dalam film ini nuansa 80-90an dihadirkan dengan sukses di film ini, pemilihan lokasi sangat brilian, pemilihan dan penempatan artisnya out of the box (ada yang bisa membayangkan seorang Reza Rahardian sekedar jadi peran pendukung atau Christine Hakim jadi pelacur?), soundtrack-nya sangat kontekstual, dan terakhir alur cerita dibangun dengan cukup rapi.

Kesan negatif dari film ini adalah adanya ironi atas alur yang sebelumnya sudah dibangun dengan rapi. Saya merasa eksekusi film ini terasa cukup terburu-buru di sepertiga akhir, untuk segera mengakhiri film agar durasi menjadi tidak terlalu panjang. Mungkin ini agak spoiler, burung si Ajo akhirnya bisa berdiri dengan bantuan Jelita yang tidak jelita. Bangunnya si burung dengan hadirnya si Jelita bagi saya tidak tereksplorasi dengan baik yang jauh. Begitu juga proses pembalasan Iteung atas dendam Ajo yang sedikit banyak menjadi bagian utama film ini juga dieksekusi dengan buru-buru. Selain itu, saya cukup kurang cocok dengan nuansa surealis dengan gambar di belakang truk yang bisa bicara dan adegan mistis yang dihadirkan saat munculnya Jelita. Sosok Jelita memang misterius, tapi tidak seharusnya dihadirkan dengan cara mistis.

Saya kita tulisan ini sudah cukup panjang dan cenderung tidak murni review. Tapi tidak apalah. Saya sekedar menulis apa yang ada di benak saya. Untuk memikirkan judul saja repot, karena judul film ini sudah cukup panjang. Biar judul film/novel ini saja yang sekalian jadi judul tulisan ini. Dari apa yang sudah saya tonton, saya rekomendasikan film ini untuk ditonton. Saya sangat senang kita sekarang disuguhi film-film Indonesia dengan tema tak biasa dan tidak monoton horor atau cinta-cintaan remaja. Segera tonton film ini, karena mungkin film ini tidak akan bertahan lama di Bioskop. Apalagi 5 hari Spiderman: No Way Home juga akan tayang, 90% saya yakin itu akan menggeser film-film yang lain. Sayang saja kalau kita tidak sempat menonton Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas ini.

Sekian.

Categories: In Depth

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *