supportive-work-team

Masih tentang pekerjaan, ada satu unek-unek yang ingin saya share. Sebagai pekerja yang bekerja 7,5 jam tiap hari Senin sampai Jumat, volume pertemuan harian dengan rekan kerja bisa dibilang jauh lebih sering daripada dengan keluarga. Tiap hari kerja saya berangkat ke kantor dimulai pukul 07:00 dan pulang sampai rumah pukul 17:00. Sementara waktu saya dengan keluarga antara pukul 05:00 sampai pukul 07:00 atau dua jam, ditambah antara pukul 17:00 sampai pukul 22:00 (dengan asumsi setelah jam segitu berangkat tidur). Total waktu saya dengan keluarga hanya 7 jam per hari. Sungguh nyata bahwa waktu bertemu dengan rekan kerja lebih banyak daripada dengan keluarga.

Dengan kondisi yang demikian sangat risih bagi saya ketika sesama pegawai saling menjadi Sengkuni. Artinya sesama pegawai melakukan hal yang licik dan bahkan busuk dengan cara yang sangat pengecut. Bersaing itu wajar, tidak suka dengan rekan kerja juga wajar namun melakukan hal negatif kepada rekan kerja itu sangat tidak wajar dan memalukan.

Beberapa bulan lalu, ada surat kaleng yang ditujukan kepada Kantor Wilayah di Semarang melaporkan tentang tindakan tidak benar yang dilakukan oleh salah seorang pegawai di kantor saya. Pegawai yang diadukan tersebut termasuk unsur pimpinan, namum bukan pimpinan puncak di kantor saya. Bahwa pegawai tersebut tidak disukai oleh beberapa orang mungkin wajar, namun sampai ada mengirim surat kaleng melaporkan hal tersebut itu benar-benar hal yang di luar dugaan saya dan pegawai-pegawai lain.

Kantor Wilayah Semarang menginstruksikan agar permasalahan itu segera diselesaikan dan untuk dicari siapa penulis surat kaleng tersebut. Diduga kuat penulis surat tersebut adalah sesama pegawai di kantor saya karena surat tersebut detail bercerita keseharian pegawai tersebut di kantor. Beberapa pegawai diinterogasi namun tidak ada cukup bukti mereka yang diinterogasi adalah pelaku pengirim surat. Jalan terakhirnya akhirnya seluruh pegawai disumpah untuk mengakui bukan penulis surat tersebut. Semua pegawai bersedia dan menjalankan sumpah tersebut yang pada akhirnya siapa penulis surat kaleng tersebut tetap misterius. Spekulasi tetap berkembang namun akhirnya menguap karena pegawai yang mendapat surat kaleng tersebut akhirnya mutasi dari kantor saya.

Sekian lama berlalu, pasca lebaran kemarin ketika seluruh pegawai akan menghadiri resepsi pernikahan salah seorang pegawai, pegawai yang dulu dapat surat kaleng itu ikut menumpang di kendaraan kami. Ternyata, beberapa hari sebelum berangkat resepsi ada SMS kaleng ke HP dia. Isinya sangat panjang yang salah satunya menyebutkan sudah pindah koq ya masih nempel saja di kantor kami di Banyumas. Dia kemudian bercerita ke Ketua saya dan setelahnya pada apel rutin Senin pagi secara tersirat pak Ketua mengungkapkan kekecewaannya atas sikap oknum pegawai yang sebegitu tidak sukanya kepada seseorang sampai berbuat seperti itu. Suasana lebaran bukannya untuk saling memaafkan tapi malah digunakan untuk menyiarkan dengki.

Masalahnya adalah bukan cuma pegawai tersebut yang mengalami pelaporan via surat kaleng. Ada pegawai lain yang dilaporkan juga via surat tanpa identitas ke Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah di Semarang. Tindakan ini tentu jauh lebih ekstrem. Melalui surat itu disebutkan bahwa pegawai tersebut dituduh menyalahgunakan wewenang dan jabatannya untuk menguntungkan pihak tertentu. Akibatnya pegawai tersebut dipanggil Kejaksaan Negeri Banyumas untuk diklarifikasi. Atas klarifikasi tersebut, saya pribadi agak terheran-heran karena Kejaksaan mau-maunya menyeriusi surat kaleng.

Seolah di Kejaksaan belum cukup, pegawai tersebut juga dilaporkan ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung selaku Inspektorat di instansi kami tentang masalah yang sama. Padahal saya tahu orang itu adalah orang yang baik. Beliau memang tegas dan cenderung disiplin aturan. Ini yang mungkin membuat sebagian pegawai tidak suka. Dari surat yang dikirimkan ke Badan Pengawasan, sangat diduga kuat itu dilakukan oleh lagi-lagi orang dalam.

Sebenarnya saya cukup nyaman bekerja di kantor ini, namun berkali-kali ada surat kaleng benar-benar bikin suasana jadi tidak nyaman. Timbul rasa saling curiga antar pegawai. Padahal seperti apa yang saya ungkapkan di awal, kita ini lebih sering bertemu dengan rekan kerja daripada dengan keluarga. Rekan kerja ibarat keluarga kedua kita, masa kita tega mengabarkan hal negatif atau fitnah kepada keluarga kita?

Sebisa mungkin ayolah kita selesaikan permasalahan kita sendiri tanpa melibatkan pihak luar.

Melibatkan ‘ayah’ mungkin masih wajar, tapi kalau harus melibatkan ‘tetangga’, apa sih untungnya? Kepuasan diri mungkin bisa diperoleh tapi citra buruk instansi jadi tumbal. Kenapa tidak klarifikasi dulu ke pimpinan kalau ada permasalahan? Apalagi permasalahan yang ada toh ada permasalahan kantor bukan permasalahan pribadi.

Sebagai pegawai muda, banyak sekali pelajaran yang bisa saya petik yang semoga dapat membuat saya dapat lebih bijak dalam bertindak di dunia perkantoran.


Lesson Learned: Sebaik-baik manusia, pasti ada yang memandang buruk. Pertimbangkan dengan baik-baik dalam pengambilan keputusan, karena apa yang kita putuskan bisa jadi berpengaruh kepada nasib seseorang.


 


1 Comment

Personal | Yasir Fuadi · September 18, 2021 at 9:14 am

[…] Agustus 2015 menjadi tanggal terakhir saya mem-post tulisan di blog ini. Dengan terbitnya tulisan tanggal 18 September 2021 ini, berarti total 6 tahun lebih […]

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *